mailonpix.com
Pulauku Review
Affiliate Programs
Yahoo bot last visit powered by MyPagerank.Net

frontmenu

Links


Masukkan Code ini K1-EDA1F5-D
untuk berbelanja di KutuKutuBuku.com

sponsorbanner

Powered by Blogger.
Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly.
Monday 13 April 2009

Taman Nasional Wakatobi

Taman Nasional Wakatobi memiliki potensi sumberdaya alam laut yang bernilai tinggi baik jenis dan keunikannya, dengan panorama bawah laut yang menakjubkan. Secara umum perairan lautnya mempunyai konfigurasi dari mulai datar sampai melandai kearah laut, dan beberapa daerah perairan terdapat yang bertubir curam. Kedalaman airnya bervariasi, bagian terdalam mencapai 1.044 meter dengan dasar perairan sebagian besar berpasir dan berkarang.
Taman nasional ini memiliki 25 buah gugusan terumbu karang dengan keliling pantai dari pulau-pulau karang sepanjang 600 km. Lebih dari 112 jenis karang dari 13 famili diantaranya Acropora formosa, A. hyacinthus, Psammocora profundasafla, Pavona cactus, Leptoseris yabei, Fungia molucensis, Lobophyllia robusta, Merulina ampliata, Platygyra versifora, Euphyllia glabrescens, Tubastraea frondes, Stylophora pistillata, Sarcophyton throchelliophorum, dan Sinularia spp.
Kekayaan jenis ikan yang dimiliki taman nasional ini sebanyak 93 jenis ikan konsumsi perdagangan dan ikan hias diantaranya argus bintik (Cephalopholus argus), takhasang (Naso unicornis), pogo-pogo (Balistoides viridescens), napoleon (Cheilinus undulatus), ikan merah (Lutjanus biguttatus), baronang (Siganus guttatus), Amphiprion melanopus, Chaetodon specullum, Chelmon rostratus, Heniochus acuminatus, Lutjanus monostigma, Caesio caerularea, dan lain-lain.
Selain terdapat beberapa jenis burung laut seperti angsa-batu coklat (Sula leucogaster plotus), cerek melayu (Charadrius peronii), raja udang erasia (Alcedo atthis); juga terdapat tiga jenis penyu yang sering mendarat di pulau-pulau yang ada di taman nasional yaitu penyu sisik (Eretmochelys imbricata), penyu tempayan (Caretta caretta), dan penyu lekang (Lepidochelys olivacea).
Masyarakat asli yang tinggal di sekitar taman nasional yaitu suku laut atau yang disebut suku Bajau. Menurut catatan Cina kuno dan para penjelajah Eropa, menyebutkan bahwa manusia berperahu adalah manusia yang mampu menjelajahi Kepulauan Merqui, Johor, Singapura, Sulawesi, dan Kepulauan Sulu. Dari keseluruhan manusia berperahu di Asia Tenggara yang masih mempunyai kebudayaan berperahu tradisional adalah suku Bajau. Melihat kehidupan mereka sehari-hari merupakan hal yang menarik dan unik, terutama penyelaman ke dasar laut tanpa peralatan untuk menombak ikan.

Pulau Hoga (Resort Kaledupa), Pulau Binongko (Resort Binongko) dan Resort Tamia merupakan lokasi yang menarik dikunjungi terutama untuk kegiatan menyelam, snorkeling, wisata bahari, berenang, berkemah, dan wisata budaya.

Musim kunjungan terbaik: bulan April s/d Juni dan Oktober s/d Desember setiap tahunnya.

Cara pencapaian lokasi: Kendari ke Bau-bau dengan kapal cepat regular setiap hari dua kali dengan lama perjalanan lima jam atau setiap hari dengan kapal kayu selama 12 jam. Dari Bau-bau ke Lasalimu naik kendaraan roda empat selama dua jam, lalu naik kapal cepat Lasalimu-Wanci selama satu jam atau kapal kayu Lasalimu-Wanci selama 2,5 jam. Wanci merupakan pintu gerbang pertama memasuki kawasan Taman Nasional Wakatobi.
sumber : http://www.dephut.go.id

Wakatobi Dive Resort


Berlokasi disekitar pantai asri dan menawam Pulau Onemobaa-Tomia, Kepulauan Wakatobi. Wakatobi Resort menawarkan penyeleman kelas dunia didukung oleh rumah karang yang spektakuler serta kemudahan akses ke tempat penyelaman dengan keanekaragaman kehidupan bawah laut ditambah lagi dengan keamanan dan kenyamanan dalam melakukan aktifitas selam yang sangat terjamin dengan wilayah laut yang terproteksi.Wakatobi Resort juga memiliki staff yang berpengalaman dan berpengetahuan dalam pelayanan wisata, dengan sajian menu makanan yang sehat dan keanekaragaman rasa, serta dilengkapi dengan perangkat komunikasi satelit dengan akses internet 24 jam, sehingga Wakatobi Dive Resort melayani tamu dengan pelayanan standar dunia.

Resort ini juga dilengkapi dengan lapangan terbang Maranggo di pulau Tomia dengan jalur penerbangan yang menghubungkan pulau Bali ke Tomia akan membuat perjalanan ke Wakatobi semakin mudan dan nyaman.
Sumber: http://www.sultra.go.id
Wednesday 8 April 2009

Holidays Where Cheap Travel Insurance is a MUST

If you're going on holiday this year then there may be a temptation to skimp on cheap travel insurance in a bid to cut corners and save money. With the worsening economic situation, it is understandable that travellers want to make cutbacks and not shell out on unnecessary extras.

Cheap travel insurance is one thing you cannot afford to skimp on however, especially with as many as one in three Brits claiming on their travel insurance after going on holiday. If you are prepared to shop around then there are some excellent deals to be found and quality cover on the cheap. Travel insurance is needed on most holidays abroad, but for these three holidays it is absolutely essential:

Prague, Czech Republic

Tourism to Eastern Europe has been growing in popularity steadily for a while now but the Czech Republic has probably got more of a boost in tourism than other surrounding countries. The capital Prague offers some stunning gothic architecture at the Prague castle which includes the St Vitus Cathedral.

Unfortunately, the darker side of Prague is notorious for petty crime, particularly pick-pocketing. Cheap travel insurance is an essential for a holiday in the Czech Republic but in Prague in particular, in case your wallet is stolen. Holidaymakers are also advised to take travellers' cheques with them instead of large sums of money.

Colorado, USA

If you're worried about the depreciating value of the pound against the euro but can't give up on the adrenaline rush of skiing, then Colorado is about as good as it gets. Your cheap travel insurance is well warranted here though, as is a crash helmet.

The Crested Butte resort was voted one of the most dangerous mountains in the US, and with extreme runs such as Body Bag it's not difficult to see why. For extreme winter sports like skiing and snowboarding http://www.uswitch.com/travel-insurance - cheap travel insurance is a pre-requisite.

Bangkok, Thailand

Thailand is the back-packers country of choice and for those travellers on a budget provides an excellent snapshot of Asia. Bangkok is an unusual blend of simple elegance and awe-inspiring extravagance. The Grand Palace is about as opulent a marvel as you will ever see but it's set against a backdrop of vendors selling succulent street food.

Thailand also dominates the travel insurance claims in the UK: from illness, to injury, to missing luggage or traffic accidents. Bangkok itself is responsible for some of the most numerous and varied travel claims on the planet, making cheap travel insurance a necessity for travellers visiting the Thai capital.
Saturday 4 April 2009

Asal Mula Nama Kepulauan Tukang Besi


Gugusan Kepulauan yang membentang di bagian timur Pulau Buton itu, pada masa Kesultanan Buton dinamakan Liwuto Pataanguna, artinya Pulau Empat, kemudian dipopulerkan dengan istilah Liwuto Pasi, artinya Pulau Karang. Sejak Belanda berkuasa di Buton, gugusan kepulauan ini disebut dengan istilah Toekang Besi Eilanden artinya Kepulauan Tukang Besi. Tradisi lisan menuturkan bahwa istilah itu mula-mula dilontarkan oleh seorang Belanda bernama Hoger. Dalam salah satu pelayaran melewati kepulauan itu, ia singgah di Pulau Binongko. Ia melihat penduduknya membuat berbagai peralatan hidup yang terbuat dari besi sehingga ia menamakan gugusan kepulauan itu dengan istilah Toekang Besi Eilanden. Versi lain menyebutkan bahwa istilah Tukang Besi berasal dari nama Tulukabessi, Raja Hitu, yang para pengikutnya diasingkan ke Batavia tetapi berhasil memberontak dan membunuh para serdadu Belanda di Pulau Wangi-Wangi.
Para pengikut Raja Tulukabessi yang berjumlah sekitar 360 orang itu akhirnya menetap disana dan menjadi salah satu cikal bakal penduduk Kepulauan Tukang Besi. Pada tahun 1959 muncul gagasan untuk mengubah nama Kepulauan Tukang Besi menjadi Kepulauan Wakatobi atau Kepulauan Bitokawa. Istilah ini muncul dari kaum intelektualnya bersamaan dengan ide perjuangan membentuk satu kabupaten yang terlepas dari Kabupaten Buton. Mereka beranggapan bahwa istilah “tukang besi” kurang bagus didengar dan terkesan Belanda sentris. Akhirnya disepakati bahwa nama Kepulauan Tukang Besi ke depan harus diganti dengan istilah Kepulauan Wakatobi. Istilah Wakatobi adalah akronim dari nama-nama pulau besar di kepulauan itu, yakni Pulau Wangi-Wangi, Pulau Kaledupa, Pulau Tomia, dan Pulau Binongko. Akhirnya pada tahun 2003 gugusan kepulauan ini menjadi satu kabupaten pemekaran dari Kabupaten Buton dengan nama Kabupaten Wakatobi.
Sumber :Ali Hadara DINAMIKA PELAYARAN TRADISIONAL
ORANG BUTON KEPULAUAN TUKANG BESI. Universitas Haluoleo


Saturday 14 February 2009

Nenek Moyangku Seorang Pelaut


Bagi orang Kepulauan Tukang Besi, pelayaran ke seantero Nusantara, Singapura, Malaysia, Deli, Filipina Selatan dianggap sebagai rutinitas biasa. Bahkan mereka ada yang sampai di perairan Australiua Utara, Pakistan. dan Kepulauan Palau di sebelah timur Filipina dengan hanya menggunakan perahu layar tradisional yang disebut lambo. Jaringan dan peran serta mereka dalam dunia pelayaran niaga, sejauh yang dapat dilacak, mulai tampak sejak abad terakhir masa kurun niaga yang mula-mula dipelopori oleh orang-orang Binongko kemudian disusul oleh pulau-pulau lainnya. Ada tiga keunggulan utama yang dimiliki oleh pelayar-pelayar Kepulauan Tukang Besi dan dua peran serta yang dimainkan, yaitu kemahiran membuat perahu layar tradisional, keberanian berlayar di alam bebas yang ganas dan penuh misteri, dan kemampuan menerima perkembangan teknologi pelayaran, serta peranserta mereka untuk ikut menyebarluaskan Islam dan kebudayaan melalui jalur pelayaran dan perdagangan dan ikut membantu perjuangan untuk mencapai dan mempertahankan kemerdekaan. Sumber Media Kita dari Key Maluku Tenggara pada tanggal 7 Mei 1990 melaporkan bahwa orang-orang Binongko sejak abad ke-17 telah sampai di Maluku. Di Kepulauan Key Maluku Tenggara itu mereka berhasil mendirikan sebuah kampung kecil yang dinamakan Kampung Tamu. Perahu lambo pertama yang berhasil mereka buat di kampung itu diberi nama PL Montoroso yang dalam bahasa Kaumbeda berarti “awak perahu pemberani dan bertanggung jawab” (Hasan, Media Kita, No. 57/Thn XXI/1990: 2). Ligtvoet (1877) dalam Pim Schoorl (2003 : 108) menjelaskan bahwa menurut Speelman, pada zamannya Pulau Binongko terkenal karena perahu yang dibuat disana yang sering dipersenjatai dengan sepasang lela dan beberapa senapan. Selanjutnya Pim Schoorl (2003: 108-109) menjelaskan bahwa di dalam Militari Memori (1919) dilaporkan bahwa dari sekitar 300 perahu yang dipergunakan untuk pelayaran jarak jauh yang ada di Buton, ada sekitar 200 perahu terdapat di Kepulauan Tukang Besi.
Pada awal abad ke-18, di Pulau Binongko terdapat seorang juragan terkenal bernama La Nina alias Wa Ama Taangi yang lahir pada tahun 1711 dan meninggal di Latuhari Kepulauan Key Maluku Tenggara pada tahun 1787. Ia berhasil melintasi Kepulauan Nusa Tenggara dan sampai ke Maluku. Ia memiliki kader-kader pelayar ulung seperti La Biddae (1770-1823), La Kaga (1776-1836) dan La Sida (1862-1919). (Hasan, Media Kita, No. 44/Thn XIX/1989: 6).
Hasil penelitian Firmansyah pada bulan Mei 2006 tentang Persepsi Masyarakat Muslim Maluku Terhadap Pejuang Kapitan Pattimura yang berhasil mewawancarai 12 orang keturunan Pattimura, menyimpulkan bahwa Kapitan Pattimura adalah seorang pelarian dari Perang Waloindi II di Binongko yang kalah setelah memberontak kepada Buton dan Belanda pada awal abad ke-19. Penggantinya yang bernama Kapitan Ulupaha adalah bekas Raja Kaledupa yang ikut bersama Pattimura ke Ambon. Di kalangan masyarakat Maluku dan Kepulauan Tukang Besi tidak merasa asing jika mendengar syair lagu berikut :

”kole kole arumbae kole raja pati tana bara”

Syair di atas menunjukan bahwa ada seorang raja bernama pati yang datang dari barat dengan menggunakan sebuah perahu tradisional yang mereka sebut kole. Diduga bahwa raja pati yang dimaksudkan dalam syair itu adalah Pattimura. Tentunya dia adalah seorang pelayar yang paham tentang navigasi pelayaran tradisional karena kehadirannya di Ambon menggunakan perahu kole. Pada akhir abad ke-19, dua orang pelayar ulung bersaudara asal Tomia masing-masing bernama Ua Senge dan Ua Kamu berhasil mendirikan sebuah kampung di Johor yang bernama Kampung Sungai Karang. Mereka sangat populer karena, selain berdagang, juga menjadi guru pencak silat balabba yang sangat terkenal di kalangan pelayar-pelayar Buton. Pencak silat balabba ini kemudian menjadi tradisi yang dipertontonkan di kalangan masyarakat Tomia pada setiap selesai Hari Raya Idul Adha.Pada tahun 1900, ada sembilan orang pemuda asal Binongko berhasil merantau ke Digus dan Davao Mindanao Filipina Selatan. Tidak lama kemudian, yaitu pada tahun 1901, ada empat orang pelayar Binongko berhasil menunaikan ibadah haji di tanah suci Mekkah dengan menggunakan perahu lambo. Mereka berlabuh di salah satu pelabuhan di Pakistan kemudian menyebrang ke tanah suci Mekkah lewat darat.. Mereka kemudian dikenal dengan sebutan Haji Hohaa (Haji Empat Orang) (Hasan, Media Kita No. 44/Thn XIX/1989: 6). Mereka adalah La Samuraa (H. Shiddiq), La Muru (H. Thayeb), La Sirau (H. Abdul Halim), dan La Ali (H. Muhammad Ali). Para pelayar Binongko yang ke tanah suci biasanya belajar agama Islam pada seorang syekh selama berpuluh tahun kemudian pulang ke kampung dan menjadi guru agama bahkan menjadi ulama besar. Mereka yang cukup terkenal adalah H. La Hidi, KH. Muhammad Tahir yang menjadi penyebar Islam dan dikeramatkan di Pulau Tiga Salabangka Sulawesi Tengah, KH. Asy’ari yang sampai akhir hayatnya menjadi ulama dan imam Mesjid Agung Al Fatah Ambon, KH. Abdul Syukur yang menyebarkan agama Islam di Buton Barat, dan KH. Ibrahim. Pada tahun 1908, empat orang Binongko menyebrang ke kota kecil Semorset dan Kepulauan Wessel Australia bagian Utara. Mereka telah beranak cucu di sana (Hasan, Media Kita, No. 44/Thn.XIX/1989 : 6). Pada tahun 1960-an sebuah perahu asal Tomia yang dinakhodai oleh La Ida berhasil berlabuh di Kepulauan Palau, sebuah negera kecil di Lautan Teduh sebelah timur Filipina. Cuplikan peristiwa yang dikemukakan di atas hanya sebagian kecil saja dari sekian banyak peristiwa yang mereka lakoni yang terekam dalam ingatan anak cucu mereka karena tidak meninggalkan catatan perjalanan sebagaimana dilakukan oleh pelayar-pelayar Eropa. Pas jalan yang mereka gunakan untuk bahan laporan kepada setiap kepala desa atau kepala kampung yang mereka singgahi tidak tersimpan dengan baik bahkan dibiarkan rusak begitu saja. Akan tetapi penjelasan di atas sudah cukup meyakinkan kita dan menjadi rujukan untuk suatu pernyataan bahwa memang mereka adalah pelayar-pelayar ulung yang sangat berani dan menjadi tulang punggung dalam struktur pelayaran tradisional orang Buton. Peran mereka sebenarnya tidak hanya terbatas dalam aktivitas perdagangan dan menyebarkan agama Islam melainkan juga menyebarluaskan kebudayaan. Dalam aspek bahasa, tampak dalam setiap transaksi perdagangan di pasar-pasar atau di pelabuhan selalu menggunakan bahasa Melayu, Tradisi pencak silat yang dilakukan pada setiap selesai Hari Raya Idul Adha menampilkan tradisi pencak silat dari Maluku yang dinamakan makanjara dan tradsisi pencak silat dari Malaysia yang dinamakan balabba. Berbagai macam tarian, nyanyian, dan kesenian lainnya menunjukan variasi pengaruh dari luar karena kontak perdagangan. Misalnya tari balumpa dari Melayu, kadayo dan joge dari Jawa, sajo moane dan sajo wowine mendapat pengaruh dari Makassar, dan badenda dari Maluku. Berbagai jenis makanan, pakaian, alat-alat rumah tangga dan perkakas lainnya diperkenalkan kepada masyarakat yang mereka kunjungi. Mereka mensuplai bahan makanan dan kebutuhan lainnya ke daerah-daerah minus dan terisolasi. Tak dapat dipungkiri bahwa siapa saja yang ingin melakukan perjalanan antar pulau atau antar pelabuhan harus menumpang perahu lambo tanpa dibebani biaya apapun. Hal inilah yang kemudian mengakibatkan para pelayar itu banyak “sanak saudara” di rantau orang. Dapat dibayangkan bagaimana besarnya peran dan kontribusi mereka dalam perjalanan antar pulau ketika transportasi laut saat itu masih sangat terbatas. Dalam masa-masa perjuangan kemerdekaan mereka menjadi armada pengangkut perbekalan dan para pejuang bahkan perlengkapan perang sekaligus menjadi matalala atau sumber informasi tentang situasi di negeri-negeri seberang yang sering dimanfaatkan oleh para pejuang kemerdekaan. Di masa pendudukan mereka dimanfaatkan oleh penguasa Jepang untuk mengangkut barang-barang kebutuhan mereka seperti aspal untuk pembangunan lapangan terbang militer di Kendari. Mereka sering pula dimanfaatkan sebagai katu yang bertugas mengantar para penguasa atau tentara Jepang dari satu pulau ke pulau lainnya. Mereka banyak yang menjadi korban pembunuhan sadis yang dilakukan oleh militer Jepang di Wangi-Wangi. Untuk menghindari kekejaman tentara Jepang itu mereka menyingkir ke Kepulauan Riau, Bangka, Belitung, dan tempat-tempat lain yang dianggap aman. Di pelabuhan Pangkal Pinang saja tidak kurang dari 100 perahu asal Kepulauan Tukang Besi mengamankan diri. Di pelabuhan tersebut terjadi sebuah peritiwa yang amat heroik dimana tiga orang juragan perahu masing-masing La Munaidi asal Tomia, serta La Goro dan La Anu masing-amsing asal Kaledupa berhasil membantu pihak tentara Indonesia untuk merebut lebih dari 30.000 pucuk senjata dari berbagai jenis di barak militer Jepang, tiga kilometer dari kota Pangkal Pinang, pada tanggal 11 September 1945. Para pelayar Kepulauan Tukang Besi menjadi sumber utama tentang informasi proklamasi, bukan hanya kepada masyarakat Kepulauan Tukang Besi melainkan kepada siapa saja yang mereka temui di pasar-pasar dan pelabuhan-pelabuhan yang mereka kunjungi. Tidak hanya itu, dalam masa revolusi fisik dan perang gerilya mereka menjadi pengangkut pasukan dan senjata seperti yang dilakukan oleh juragan La Hasuba asal Kaledupa pada tahun 1947 berhasil menyelundupkan senjata berbagai jenis dari Yogyakarta melalui pelabuhan Probolinggo Jawa Timur. Senjata untuk satu batalyon itu diselundupkan ke Sulawesi Selatan akan tetapi karena situasi disana kurang aman maka senjata itu dibawa ke Kaledupa. Ada pula yang bergabung dalam berbagai kesatuan gerilya di Kalimantan Timur dan Sulawesi Selatan seperti yang dilakukan oleh La Uda dan La Judah yang keduanya berasal dari Kaledupa. Sejak awal abad ke-20, pelayar-pelayar Kepulaan Tukang Besi banyak yang menjadi pebongkara (penyanggah) kopra dan cengkeh serta hasil bumi lainnya di Gresik, Surabaya, dan Probolinggo di Jawa Timur seperti H. Hamiruddin, H. Isnawi, H. Umar. H. Halim, H. Kaimuddin, La Tara Juta, H. Ali, H. Mastora, La Ade, dan La Tani. Mereka menjadi saudagar-saudagar yang cukup kaya di kota-kota itu. Dalam aspek perubahan teknologi pelayaran yang amat penting adalah kebijakan program motorisasi yang dicanangkan oleh pemerintah pada tahun 1977. Jika program motorisasi itu telah mematikan pelayaran di Buton daratan, namun sebaliknya di Kepulauan Tukang Besi justru berhasil memacu dinamika pelayaran tradisional menjadi pelayaran modern. Dalam waktu tidak kurang dari 20 tahun sejak penerapan kebijakan itu, semua perahu lambo yang ada di Kepulauan Tukang Besi, terutama di Wangi-Wangi dan Tomia, sudah dilengkapi dengan mesin. Perpaduan faktor-faktor geografis terutama letak dan kodisi kepulauan serta idiologi gau satoto sebagaimana di kemukakan di atas telah melahirkan dinamika pelayaran tradisonal mereka. Dinamika itu tidak hanya berhasil memacu pertumbuhan ekonomi melainkan mengakibatkan munculnya berbagai kegiatan musiman yang dilakukan pada musim pancaroba seperti perkawinan musiman, pesta tradisional musiman, dan pembangunan fasilitas umum yang juga dilakukan secara musiman.

Sumber :Ali Hadara DINAMIKA PELAYARAN TRADISIONAL
ORANG BUTON KEPULAUAN TUKANG BESI. Universitas Haluoleo

Recent Comment

Bidvertiser

Search in the Quran
Search:
Download | Free Code
www.SearchTruth.com

Tukaran Link


Copy code dibawa, insert into your blog

Join Affiliati

Bisnis online